Minggu, 18 Desember 2011

Review Jurnal

PROSPEK PENGEMBANGAN PERAN KOPERASI
DALAM MASALAH PERBERASAN



         Kelompok :      1. Astri Rhianti Poetri         (21210198)
                                 2. Efa Wahyuni                  (22210258)
                                 3. Fika Fitrianti                  (22210770)
                                 4. Nova Farhan Septiani    (25210041)




ABSTRAK

Modifikasi kebijakan di bidang beras yang dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 2001 tampaknya telah mengembangkan mekanisme pemasaran beras untuk nasional saham. Koperasi kontribusi dalam mendukung pendapatan petani dan ketersediaan stok beras nasional juga lebih terbatas. Kurangnya kondisi stok datang dari dua tahun terakhir ini juga tampaknya tidak mampu mengubah persepsi terhadap kepentingan peran koperasi untuk menjadi salah satu komponen penting di tingkat nasional pada sistem. Dalam kondisi seperti ini, tampaknya masih koperasi berusaha untuk menjadi ada antara lain dengan mengembangkan model ketahanan pangan beberapa saham seperti bank padi, penyimpanan makanan, dan pusat-pusat pengolahan beras beberapa. Model ini menjamin beras saham di pusat-pusat produksi serta di daerah defisit makanan dan secara bersamaan mengurangi ketergantungan.



I. Latar Belakang
Sampai dengan akhir tahun 2006 Badan Pusat Statistik menginformasikan bahwa jumlah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UKM) telah mencapai 48,634 juta unit, atau 99,99% dari jumlah dunia usaha ada di Indonesia. Dari jumlah tersebut lebih kurang 68,9%-nya bergerak di setor tanaman pangan khususnya padi, baik sebagai pemilik lahan, penyewa atau penyakap. Dengan perkataan lain sub sektor ini menjadi tumpuan hidup dari 33,508 juta kepala keluarga, atau lebih kurang 134,035 juta jiwa rakyat Indonesia. Oleh karena besarnya jumlah rakyat yang hidup pada sub sektor tersebut, maka fluktuasi harga bahan pangan khususnya beras secara langsung mempengaruhi tingkat kesejahteraan mereka. 
Rendahnya harga beras pada dua tahun terakhir diduga menjadi salah satu penyebab berkurangnya minat petani untuk bertanam padi, yang berakibat menurunnya produksi beras dalam negeri. Kekurangan beras di dalam negeri memang dapat diselesaikan dengan mengimpor beras yang pada tahun 2005 mencapai 350.000 ton dan tahun 2006 mencapai 460.000 ton. Jumlah impor yang dilakukan pemerintah ini diduga lebih kecil dari jumlah beras impor yang masuk melalui jalur lainnya. Guna mengurangi beban impor maka pemerintah
bertekat meningkatkan produksi beras dalam negeri, untuk itu pemerintah mendorong petani agar pada tahun 2007 terjadi tambahan produksi beras sebanyak 2 juta ton. Usaha tersebut dilakukan melaui sistem terpadu yaitu penyediaan sarana produksi dengan harga bersubsidi. Dorongan peningkatan produksi padi juga dilakukan dengan cara menaikkan harga dasar pembelian beras oleh pemerintah (HPP) melalui Intruksi Presiden (Inpres) nomor 3 tahun 2007. Berdasarkan Inpres tersebut HPP Gabah kering panen (GKP) naik dari Rp. 1.723,- menjadi Rp. 2.000,- per Kg, Gabah kering giling (GKG) naik dari Rp. 2.280,- menjadi Rp. 2.575,- per Kg, dan beras naik dari Rp. 3.550,- menjadi Rp. 4.000,- per Kg. 

Dalam upaya mendukung program pengadaan beras nasional ini memang Perum Bulog sudah merangkul banyak pihak terutama para pedagang beras ditingkat Kabupaten dan juga koperasi Pertanian (Koptan). Dalam hal ini Perum bulog juga sudah menjalin kerjasama dengan Induk Koperasi Pertanian (Inkoptan). Yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana kapasitas Inkoptan dan Koptan tersebut dapat mendukung mekanisme pengadaan gabah beras oleh Perum Bulog ? Diketahui bahwa Koptan belumlah memiliki pengalaman karena baru mulai dibentuk pada tahun 1999. Koptan juga tidak memiliki sarana yang
memadai untuk melaksanakan kegiatan yang cukup besar dan cukup rumit tersebut. Dalam hal ini timbul pertanyaan lagi mengapa Perum Bulog tidak merangkul Koperasi Unit Desa (KUD), yang notabene sudah memiliki pengalaman dan sarana pendukung yang cukup banyak baik berupa Gudang Lantai Jemur dan Kios (GLK) maupun Huler dan berbagai sana pendukung lainnya.

II. Potensi Dan Kendala Koperasi
Keikutsertaan Koperasi dalam Program Swasembada Pangan sudah dimulai sejak tahun 1974 dengan didirikannya Badan Usaha Unit Desa yang kemudian berubah nama menjadi Koperasi Unit Desa. Selama lebih dari 30 tahun tahun KUD secara aktif telah dilibatkan dalam kegiatan tersebut, tidak saja dalam pengadaan gabah/beras untuk menudukung stok beras nasional, tetapi juga dilibatkan dalam penyediaan sarana produksi padi (saprodi), pengolahan hasil dan pemasarannya kepasaran umum (pasar bebas). Potensi
Koperasi yang dalam hal ini KUD dalam kegiatan pengadaan Gabah dan beras dalam beberapa Dasawarsa yang lalu memang cukup besar, baik dilihat dari ketersedian sarana, maupun ketersedian personil. Demikian juga sesungguhnya KUD mempunyai keterikatan usaha yang sangat kuat dengan petani, walaupun 
keberhasilan KUD pada waktu itu belum lagi optimal.



III. KEIKUTSERTAAN KOPERASI DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN
UMKM

Dalam rangka menghindari dan sekaligus mengatasi akibat kekurangan pangan pokok ini, tidaklah mengherankan jika pemerintah telah mengambil langkah-langkah kebijakan dengan melibatkan sejumlah besar departemen dan instansi pemerintah untuk mengatur dan mendorong ketahanan pangan di Dalam Negeri. Departemen Koperasi adalah salah satu departemen yang sejak lama telah ditugaskan untuk menangani dan menyeleggarakan persediaan pangan khususnya beras bagi masyarakat. Dengan tanggung jawab ini dan disertai dukungan pemeritah, Departemen Koperasi telah menumbuhkembangkan kegiatan usaha dan bisnis koperasi di tengah masyarakat. Usaha koperasi yang sudah berjalan, telah menjangkau berbagai kegiatan usaha golongan ekonomi lemah dan telah berkembang luas ke berbagai pelosok Tanah Air. 
Sejumlah fakta menunjukkan bahwa keberadaan organisasi koperasi di sektor pertanian diakui atau tidak sangat membantu petani dalam proses produksi pangan baik padi maupun palawija. Keberhasilan program Bimas dan Inmas di masa lalu tidak terlepas dari peranserta koperasi/KUD sejak dari penyediaan prasarana dan sarana produksi sampai dengan pengolahan hingga pemasaran produk. 
Meskipun demikian kini terjadi perubahan seiring berlangsungnya era globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Untuk lebih mendorong dan mempercepat pencapaian ketahanan pangan, pemerintah kini telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk penyaluran pupuk dan pengadaan beras. Pengambilan kebijakan ini dianggap perlu untuk mempermudah ketersediaan pupuk di lokasi petani dan penggunaannya dengan harga terjangkau, serta pengadaan gabah/beras yang menjamin persediaan Dalam Negeri. Diharapkan dengan kebijakan ini petani dapat meningkatkan produksi gabah mereka yang berarti pada satu sisi menjamin persediaan gabah/beras di dalam Negeri dan pada sisi lain meningkatkan income mereka. Sementara di sisi pengadaan, dengan kewenangan luas yang diberikan kepada berbagai lembaga untuk terlibat dalam pengadaan pangan akan menjamin stabilitas persediaan Dalam Negeri.  



IV. PENUTUP
Perubahan kebijakan dibidang perberasaan yang dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 2001 ternyata telah membangun mekanisme pasar gabah/beras menjamin posisi petani, yang sekaligus juga tidak menjamin ketersediaan beras untuk stok nasional. Sumbangan koperasi baik dalam mendukung pendapatan petani dan ketersedian stok beras nasional juga semakin terbatas. Kondisi kekurangan stok telah terasa selama dua tahun belakangan ini juga ternyata belum mampu merubah persepsi terhadap kepentingan peran
koperasi untuk kembali menjadi salah satu komponen penting dalam sistem perberasan nasional. Dalam kondisi seperti itu ternyata koperasi masih berusaha untuk eksis antara lain dengan mengembangkan beberapa model pengamanan persediaan pangan diantaranya model bank padi, lumbung pangan, dan sentrasentra pengolahan padi. Model-model ini berperan menjamin persediaan gabah/beras baik di daerah sentra produksi maupun daerah defisit pangan dan sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor beras yang sebenarnya secara substansial mengancam ketahanan nasional. Eksistensi koperasi ini walaupun relatif kecil tetapi menjadi indikator bahwa koperasi masih memiliki potensi untuk kembali diikutsertakan dalam mendukung sistem perberasan. Tinggal lagi yang diperlukan adalah adanya pemikiran logis dari para pengambil kebijakan untuk menumbuhkan kembali peran koperasi dalam mendukung program ketahanan pangan nasional yang secara nyata semakin tidak menentu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar